
Hari beranjak sore, suasana Balai Desa
Jurangjero tampak lengang hanya warung soto ayam yang tampak ramai
dengan pelanggannya. Tapi siapa sangka ternyata di sudut kebun yang
dulunya digunakan sebagai kolam ikan, seorang kakek sedang asyik
menyiram sayuran yang dia tanam sendiri. Dialah Mbah Joyo, sang tukang
kebun yang setiap harinya bertugas mengurus tanaman di lingkungan Kantor
Desa Jurangjero.
Usianya sudah sepuh, menurut pengakuannya beliau sudah berumur 90 tahun lebih tiga tahun, memiliki tujuh anak, 24 cucu dan 27 buyut. Pun begitu beliau lebih memilih hidup mandiri dengan menjadi tukang kebun, biarpun tidak seberapa baginya ini adalah sebuah pengabdian.
Usianya sudah sepuh, menurut pengakuannya beliau sudah berumur 90 tahun lebih tiga tahun, memiliki tujuh anak, 24 cucu dan 27 buyut. Pun begitu beliau lebih memilih hidup mandiri dengan menjadi tukang kebun, biarpun tidak seberapa baginya ini adalah sebuah pengabdian.

Menurut kisahnya, beliau mulai mengabdi
di struktur pemerintahan paling bawah ini tepat setelah Jepang kalah
dari sekutu. Sebelumnya beliau mengikuti ibunya berdagang di Semarang.
Menurut penuturannya, dulu Lurah pertama yang diikutinya adalah Mbah
Demang, dan berkantor dengan berpindah-pindah dari rumah ke rumah.

Ketika ditanya tentang pergantian
pimpinan, dalam hal ini kepala desa, beliau bercerita bahwa setiap Lurah
itu memiliki sifat masing-masing, seperti Pak Ali yang sekarang suka
memberi uang rokok, orangnya royal, begitu penuturannya. Beliau sendiri
juga tidak neko-neko, bahkan sempat curhat pengin segera menyusul teman-teman seangkatannya yang sudah lebih dulu meninggalkan dunia fana ini, kami pun tertawa. Sampeyan ono-ono ae mbah, yen dereng dikersakne Gusti kepripun, niku tandane tasih diwenehi wektu ngge nggolek sangu.

Obrolan pun berlanjut, kali ini beliau
mengundang masuk ke dalam kantor desa. Di sana beliau menunjukkan
ruangan yang menjadi tanggungan kebersihannya setiap hari. Terbawa rasa
penasaran, saya pun bertanya dimana beliau tidur, wong tidak terlihat
dipan atau kasur. Dengan lugunya beliau menunjukkan sebuah kursi tamu di
ruangan depan, ya itulah “kasur” sehari-hari. Sungguh nerimo simbah satu ini.

Masih semangat ke masjid

Sore pun beranjak petang, beliau pun
menunjukkan lemari tempatnya menyimpan baju, dan mengambil sarung lalu
memakainya. Ya, beliau mau ke masjid, sholat maghrib berjamaah. Dua
kata, luar biasa. Biar pun sudah udzur tapi semangat beribadah tidak boleh kendur. Suri tauladan yang bagus untuk generasi muda jaman sekarang.
Semoga istiqomah mbah, dan terima kasih atas keteladanan pengabdianmu kepada bangsa khususnya desa kami. Panjang umur! (gie/jr)
Semoga istiqomah mbah, dan terima kasih atas keteladanan pengabdianmu kepada bangsa khususnya desa kami. Panjang umur! (gie/jr)
0 comments :