Sebuah tulisan yang disalin dari rubrik "GAGASAN" harian Solopos yang ditulis oleh Mulyanto, dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Sebelas Maret. Selain itu, penulis juga Kepala Pusat
Informasi dan Pembangunan Wilayah LPPM UNS., semoga bermanfaat.
Pada 21 Juli 2014 pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP)
No. 60/2014 tentang Dana Desa yang bersumber dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN).
PP tersebut menjadi dasar pengalokasian dana dari APBN ke
kabupaten/kota dengan mempertimbangkan tiga variabel utama yang menjadi
faktor penentunya. Tiga variabel itu adalah jumlah penduduk (bobot 30%),
luas wilayah (bobot 20%), dan jumlah penduduk miskin (bobot 50%).
Hasil akhir dari pembobotan ini masih dikalikan dengan indeks
kemahalan konstruksi (IKK) sebagai cerminan tingkat kesulitan geografis
di suatu kabupaten/kota. Alokasi dana desa (ADD) yang bersumber dari
APBN didistribusikan ke seluruh desa di Indonesia secara berjenjang.
Tahap awal yakni menghitung ADD tingkat nasional dengan basis data di
tingkat kabupaten/kota untuk mendapatkan ADD di setiap kabupaten/kota.
Hasil tahap ini kemudian dikelompokkan berdasarkan provinsi untuk
mendapatkan alokasi ADD di setiap provinsi di Indonesia.
Dengan merujuk jumlah desa di setiap provinsi akan diperoleh
rata-rata ADD di setiap provinsi. Selanjutnya setiap kabupaten/kota akan
mendapatkan ADD dengan cara mengalikan rata-rata ADD provinsi dengan
jumlah desa di setiap kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan.
Sebagai contoh, ketika rata-rata ADD di Provinsi Jawa Tengah (Jateng)
tahun 2015 ditemukan sekitar Rp285,4 juta maka akan diperoleh nilai ADD
untuk setiap kabupaten/kota di Jateng. Di Jateng ada 29 kabupaten dan
enam kota yang mencakup 7.809 desa.
Jateng memperoleh alokasi dana dari APBN Perubahan 2015 (APBN-P)
sekitar Rp2,23 triliun atau sekitar 10,72% dari total alokasi ADD dalam
APBN yang nilainya mencapai sekitar Rp20,8 triliun.
Di situs http://www.djpk.depkeu.go.id dapat dilihat di Jateng
ada lima kabupaten yang memperoleh ADD dari APBN-P 2015 di atas Rp100
miliar. Lima kabupaten itu adalah Kebumen yang mendapat alokasi Rp125,8
miliar (449 desa), Purworejo mendapat Rp124,4 miliar (469 desa), Pati
mendapat Rp110,9 miliar (401 desa), Klaten mendapat Rp108,7 miliar (391
desa), dan Magelang mendapat Rp101,2 miliar (367 desa).
Kabupaten dengan ADD terendah adalah Sukoharjo yang mendapat Rp43,1
miliar (150 desa) dan Kudus yang mendapat Rp36,2 miliar (123 desa). Jika
dilihat dari perolehan ADD dan berdasar jumlah desa serta mengacu
regulasi yang telah ditetapkan (PP No. 60/2014), jelas ada kejanggalan
perolehan ADD Kabupaten Kebumen dan Kabupaten Purworejo.
Dari sisi jumlah desa jelas Purworejo punya desa yang lebih banyak,
tetapi memperoleh ADD yang lebih rendah daripada Kebumen, ada selisih
sekitar Rp1,4 miliar. Kementerian Keuangan yang tahu alasannya dan yang
bisa menjelaskan kepada publik, khususnya ketika ada pertanyaan dari
masyarakat di Purworejo.
Belum Siap
Hingga pertengahan April 2015, dana desa baru didistribusikan ke 28
kabupaten atau baru sekitar 6,83% dari jumlah kabupaten di negeri ini.
ADD yang didistribusikan itu senilai sekitar Rp504 miliar atau baru
sekitar 2,44% dari keseluruhan dana yang harus didistribusikan ke 73.000
desa di Indonesia.
Masih sedikitnya kabupaten yang mendapatkan dana desa dari APBN-P
2015 tidak dapat dilepaskan dari persyaratan dalam Pasal 17, PP No.
60/2014 yang menyatakan penyaluran dana dari Rekening Kas Umum Negara
(RKUN) ke Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) dapat dilakukan dengan
beberapa syarat.
Pertama, kabupaten/kota telah menyampaikan peraturan
bupati/wali kota (perbup/perwali) mengenai tata cara pembagian dan
penetapan alokasi dana desa kepada Menteri Dalam Negeri atau Menteri
Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Kedua, APBD kabupaten/kota yang bersangkutan telah ditetapkan.
Dengan mengacu persyaratan di atas terlihat banyak kabupaten/kota
yang belum mempunyai perbup/perwali mengenai tata cara pembagian dan
penetapan alokasi dana desa.
Peraturan ini bisa disusun setelah semua kepala desa (kades)
menyerahkan laporan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
(APB Desa). Peraturan ini sekaligus menjadi dasar bagi pemerintah
kabupaten/kota untuk menyalurkan ADD yang diperoleh dari APBN ke setiap
desa.
Harus diakui bahwa hingga saat ini masih banyak desa yang kesulitan
menyusun dan melaksanakan APB Desa secara baik sehingga aparatur
supradesa juga kesulitan membuat rambu-rambu mengenai tata cara
pembagian dan penetapan alokasi dana desa yang baik.
Tata cara yang baik ini demi menjamin agar ADD yang akan dialokasikan
ke desa dapat didistribusikan sesuai koridor hukum dan ada kepastian
penggunaan ADD sesuai dengan tujuan dan peruntukan yang telah
ditetapkan.
Pemanfaatan ADD
Sesuai Pasal 19, PP No. 60/2014, ADD harus digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan desa, pembangunan desa, dan pemberdayaan
masyarakat dan kemasyarakatan dengan penekanan prioritas untuk membiayai
pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa.
Untuk memanfaatkan ADD sesuai dengan koridor di atas maka bagi desa
yang akan menerima ADD harus sudah mempunyai beberapa dokumen.
Pertama,
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa) yang merupakan
rencana kegiatan pembangunan desa untuk jangka waktu enam tahun.
Kedua, Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa) yang merupakan penjabaran dari RPJM Desa untuk jangka waktu satu tahun.
Ketiga, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa) yang
merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan desa.
Dengan melihat
permasalahan dan segenap persyaratan di atas, jangan-jangan distribusi
dana desa yang bersumber dari APBN dengan nilai yang relatif besar akan
menemui banyak kendala dalam implementasinya yang berakhir dengan tidak
terserapnya dana desa dari APBN-P 2015 secara optimal.
Tugas berat menjadi beban dua kementerian terkait, yaitu Kementerian
Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi dan Kementerian
Dalam Negeri. Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi harus bergerak cepat dalam mengimplementasikan Peraturan
Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi No. 3/2015
tentang Pendampingan Desa.
Kementerian Dalam Negeri harus bertanggung jawab dalam memperlancar
pelaksanaan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 113/2014
tentang Pengelolaan Keuangan Desa dan Permendagri No. 114/2014 tentang
Pedoman Pembangunan Desa.
Kedua kementerian tersebut harus benar-benar bersinergi dalam
mempercepat dan memperlancar implementasi undang-undang desa dan segenap
peraturan pelaksanaannya sehingga upaya membangun Indonesia dari
pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara
Kesatuan Repubik Indonesia (NKRI) dapat terwujud.
Ini merupakan salah satu dari sembilan agenda prioritas (Nawacita)
Pemerintahan Joko Widodo–Jusuf Kalla (Jokowi-JK) yang tertuang dalam
Peraruran Presiden No. 2/2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019. Hendaknya ini jangan sekadar menjadi
slogan.
Kita tentu berharap visi terwujudnya Indonesia yang berdaulat,
mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong royong yang merupakan
visi Jokowi-JK akan benar-benar menjadi kenyataan dalam kurun waktu lima
tahun ke depan.
Semua penyelesaian permasalahan di atas harus bermula dari desa
karena di desalah berbagai macam pelayanan publik dimulai dan dari desa
pulalah sebenarnya berbagai sumber daya, baik sumber daya manusia (SDM)
maupun sumber daya alam (SDA), akan didapatkan dan dapat dikembangkan ke
arah kemajuan yang lebih baik dari masa ke masa.
Distribusi dan pemanfaatan dana desa harus dikawal, diawasi, dan
diarahkan untuk mencapai tujuan mulia, yaitu meningkatkan produktivitas
rakyat dan daya saing bangsa serta untuk mewujudkan kemandirian ekonomi
dengan menggerakkan sektor-sektor strategis yang dimiliki rakyat dan
dapat dikelola oleh bangsa Indonesia sendiri tanpa campur tangan asing
secara berlebihan.